Langsung ke konten utama

Hari itu.

 



Hari itu hujan.
Aku berdiri tepat di depan rumah tiada penghuni.
Berusaha membakar tembakau, apa yang aku pikirkan? Ini hujan.
Aku tidak tahu.
Apa saat ini aku menangis atau langit menangis untuk ku?
Kutinggalkan tembakau basah di depan rumah itu.

"Selamat tinggal luka ku."

Berjalan kearah tepi jalan lalu bertemu dengan mu.
Memeluk mu.
Bersandar.
Lalu Menghilang,

---------
Hari itu sangat berkabut.
Aku berjalan mengikuti garis merah, 
Hingga bertemu dengan seorang pria.
Seperti apa dia?
Bayangkan mafia itali yang menguasai kota New York tahun 60-an.

"Apa kabar ibu mu?"

---------
Hari itu cerah.
Sebuah ruangan belajar. 
SD.
Aku duduk bersama teman ku.
Tidak tinggi.
Berponi.
Gemar sekali menulis menggunakan pensil warna.

"Hei bal. Kelas 2 nanti kau masih disini kan?"

---------
Hari itu sedikit mendung.
Berada di lapangan.
Ramai sekali dengan mainan roda empat jarak jauh.
Aku ingat sekali suaranya.
Berdengung jelas di telingaku.

"Nah Bal. Coba main gak? Nanti kita gak ketemu lagi loh"

----------
Hari itu panas terik.
Di sebuah pemandian. 
Berkeliling ramai merayakan perpisahan setelah bergelut dengan buku.
Tawa sana sini.
Tidak terdengar tangis yang seharusnya terjadi.
Biola manis terdengar masuk ke daun telinga hingga mata ku melihat mu.
Mata kita bertemu.
Persekian detik, Namun cukup jelas bahwa ini terakhir kalinya kita bertemu.
Tiada senyum apalagi tangis.
Kita sepakat mengatakan perpisahan dengan cara seperti ini.

Alunan biola berhenti. Kita berhenti melihat lalu berjalan dengan jalan masing-masing.
Selamat tinggal.


Iqbal2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jarak dan Waktu : Iwan - Chapter 1

            Tangan memegang erat, jangan lepaskan.             Menatap indah malam penuh bintang, jangan pergi.             Tidak pernah seperti ini sebelumnya, jangan menangis.             2 dunia bertemu, untuk melepas tangis yang menggumpal di dada.             Aku mencintai mu. Dan akan selalu menyayangimu. Jarak dan Waktu {Start Iwan1.             Pagi.             Burung berkicau dengan riang, bagaikan nyanyian pagi untuk menyambut hari baru. Di seberang jalan, secangkir kopi membuat dunia Pak Arman menjadi sangat tenang. Bagaimana tidak, kemarin ia mendapat gaji yang cukup besar atas kerja lembur yang ia kerjakan selama ini. Pak Arman mempunyai profesi sebagai karyawan yang tidak letih untuk bekerja dan bekerja. Ibu Rina (istri pak Arman) hanya bisa geleng kepala melihat suaminya yang giat bekerja. “Ayah?” ibu Rina muncul di balik badan besar pak Arman. “Iya bu? Ada apa?” secangkir kopi yang kini tinggal setengah. “Sayu

a women with yellow dress that i miss about her

Aku terbangun diantara bunga matahari.  Cahaya hangat membangunkan ku, namun tak ada rasa kesal di dada. Aku berdiri melihat sekitar, ini taman bunga matahari. Bau khas yang tidak dapat ku jelaskan membuat ku memegang dada yang semakin lama hangat. Sebuah bangunan tua yang sudah dipenuhi tumbuhan belukar.  Diatasnya bangunan itu, seorang wanita yang tengah menari dengan gaun kuningnya. Aku mengenalnya. Langkah kaki berjalan perlahan kearah bangunan tua, arahnya. Di atas, langkah tari nya berhenti seraya memandang ku. Aku bertepuk tangan. Ku sebut namanya. Wanita gaun kuning hanya tersenyum. "Kemana rasa ledakangan hangat di dada mu itu? Sudah benar-benar mati hati mu?" Katanya pada ku. Aku duduk ditepi bangunan tua. Ia nyusul dan duduk disebelah ku. Aku mencium aroma wangi khasnya. Aku menjelaskan padanya tentang rasa sakit dan kecewa hingga tidak ingin lagi berurusan perasaan. Lelah dan penat, tidak ingin mencari apalagi dicari. Wanita itu berdiri dan menari. Aku

Jarak dan Waktu : Eka - Chapter 3

                Malam, Hujan Rintik.                 Masih dihari yang sama, hari dimana Iwan dan Bayu berhasil kibulin Ryan. Di ujung dunia lainnya, seorang perempuan menangis di balik pintu kamar nya. Pintu terkunci dari dalam. Isak tangis tidak berhenti sejak ia bertemu kekasih hatinya. Adit menghancurkan habis isi hatinya.                 Buku buku berserakan. Lampu kamar tidak menyala. Mengundang tangis Eka untuk terus mengalir tiada henti. Perasaan Eka benar benar runyam. Tidak biasa dijelaskan dengan kata-kata. Ia benar benar mencintai kekasihnya.   Tok tok tok.   “Kak?” dibalik pintu ada adik Eka, Sri.                   Eka tidak menjawab. Terlalu malu baginya untuk menjawab. Dirinya benar-benar berantakan. Kusut .   “Sudah lah kak.. jangan pikirkan dia. Ada banyak laki laki yang lain. Kenapa harus Adit? Dia sudah berkali kali tertangkap basah oleh kakak, tapi kenapa kakak masih memikirkannya? Ayolah lah kak.” Sang adik tak kuasa melihat kakaknya menan